Pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologis sebagai
hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal
pada anak yang sehat pada waktu yang normal. Pertumbuhan dapat juga diartikan
sebagai proses transmisi dari konstitusi fisik (keadaan tubuh atau keadaan
jasmaniah ) yang herediter dalam bentuk proses aktif secara berkesinambungan.
Jadi, pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif yang menyangkut
peningkatan ukuran dan struktur biologis.
B. Pengertian Perkembangan
B. Pengertian Perkembangan
Secara umum konsep perkembangan dikemukakan oleh
Werner(1957) bahwa perkembangan berjalan dengan prinsip orthogenetis,
perkembangan berlangsung dari keadaan global dan kurang berdiferensiasi sampai
ke keadaan di mana diferensiasi, artikulasi, dan integrasi meningkat secara
bertahap. Proses diferensiasi diartikan sebagai prinsip totalitas pada diri
anak. Dari penghayata totalitas itu lambant laun bagian- bagiannya akan menjadi
semakin nyata dan bertambah jelas dalam kerangka keseluruhan.
C. Menurut Para Ahli
C. Menurut Para Ahli
Pendapat para ahli biologi tentang arti pertumbuhan dan
perkembangan pernah dirangkumkan oleh Drs. H. M. Arifin, M. Ed. bahwa
pertumbuhan diartikan sebagai suatu penambahan dalam ukuran bentuk, berat atau
ukuran dimensif tubuh serta bagian-bagiannya. Sedangakn perkembangan menunjuk
pada perubahan-perubahan dalam bentuk bagian tubuh dan integrasi pelbagai
bagiannya ke dalam satu kesatuan fungsional bila pertumbuhan itu berlangsung.
Intinya bahwa pertumbuhan dapat diukur sedangkan perkembangan hanya dapat
dilihat gejala-gejalanya. Perkembangan dipersyarati adanya pertumbuhan.
D. Perbedaan Pertumbuhan Dan Perkembangan
Tumbuh merupakan perubahan
ukuran organisme karena bertambahnya sel-sel dalam setiap tubuh organisme yang
tidak bisa diukur oleh alat ukur atau bersifat kuantitatif. Atau secara
bahasanya perubahan ukuran organisme dari kecil menjadi besar. Sedangkan,
berkembang merupakan salah satu perubahan organisme ke arah kedewasaan dan
biasanya tidak bisa diukur oleh alat ukur atau bersifat kualitatif.
E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan
dan Perkembangan
Menurut Santrok (1992), banyak aspek yang dipengaruhi faktor
genetik. Para ahli genetik menaruh minat yang
sangat besar untuk mengetahui dengan pasti tentang variasi karakteristik yang
dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Kecerdasan dan temperamen merupakan
aspek-aspek-yang paling banyak ditelaah yang dalam perkembangannya dipengaruhi
oleh keturunan.
- Kecerdasan
Arthur Jensen (1969) mengemukakan pendapatnya bahwal kecerdasan itu diwariskan (diturunkan). Ia juga mengemukakan bahwa lingkungan dan budaya hanya mempunyai peranan minimal dalam kecerdasan.
- Temperamen
Temperamen adalah gaya-perilaku karakteristik individu dalam merespons. Ahli-ahli perkembangan sangat tertarik mengenai temperamen bayi. Sebagian bayi sangat aktif menggerak-gerakkan tangan, kaki dan mulutnya dengan keras, sebagian lagi lebih tenang, sebagian anak menjelajahi lingkungannya dengan giat pada waktu yang lama dan sebagian lagi tidak demikian.
F. Fase-Fase Perkembangan
Setiap orang berkembang dengan karakteristik tersendiri.
Hampir sepanjang waktu perhatian kita tertuju pada keunikan masing-masing.
Sebagai manusia, sctiap orang melalui jalan-jalan yang umum. Setiap diri kita
mulai belajar berjalan pada usia satu tahun, berjalan pada usia dua tahun,
tenggelam pada permainan fantasi pada masa kanak-kanak dan belajar mandiri pada
usia remaja.
Menurut Santrok dan Yussen (1992) perkembangan adalah
pola gerakan atau perubahan yang dimulai pada saat terjadi pembuahan dan
berlangsung terus selama siklus kehidupan. Dalam perkembangan terdapat
pertumbuhan. Pola gerakan itu kompleks karena merupakan hasil (produk) dari beberapa
proses: proses biologis, proses kognitif dan proses sosial.
Untuk memudahkan pemahaman tentang perkembangan maka
dilakukan pembagian berdasarkan waktu-waktu yang dilalui manusia dengan sebutan
fase. Santrok dan Yussen membaginya atas lima
yaitu: fase pranatal (saat dalam kandungan), fase bayi, fase kanak-kanak awal,
fase anak akhir dan fase remaja. Perkiraan waktu ditentukaii padn setiap fase
tintuk memperoleh gambaran waktu suatu fase itu dimulai dan berakhir.
- Fase pra natal (saat dalam
kandungan) adalah waktu yang terletak antara masa pembuahan dan masa
kelahiran. Pada saat ini terjadi pertumbuhan yang luar biasa dari satu sel
menjadi satu organisme yang lengkap dengan otak dan kemampunn berperilaku,
dihasilkan dalam
waktu Iebih kurang sembilan bulan. - Fase bayi adalah saat perkembangan yang berlangsung sejak lahir sampai 18 atau 24 bulan. Masa ini adalah masa ynng sangat bergantung kepada orang tua. Banyak kegiatan-kegiatan psikologis yang baru dimulai misalnya; bahasa, koordinasi sensori motor dan sosialisasi.
- Fase kanak-kanak awal adalah fase perkembangan yang berlangsung sejak akhir masa bayi sampai 5 atau 6 tahun, kadang-kadang disebut masa pra sekolah. Selama fase ini mereka belajar melakukan sendiri banyak hal dan berkembang keterampilan-keterampilan yang berkaitan dengan kesiapan untuk bersekolah dan memanfaatkan waktu selama beberapa jam untuk bermain sendiri ataupun dengan temannya. Memasuki kelas satu SD menandai berakhirnya fase ini.
- Fase kanak-kanak tengah dan akhir
adalah fase perkembangan yang berlangsung sejak kira-kira umur 6 sampai 11
tahun, sama dengan masa usia sekolah dasar. Anak-anak menguasai
keterampilan-keterampilan dasar membaca, menulis dan berhitung. Secara
formal mereka mulai
memastiki dunia yang lebih luas dengan budayanya. Pencapaian prestasi menjadi arah perhatian pada dunia anak, dan pengendalian diri sendiri bertambah pula. - Fase remaja adalah masa
perkembangan yang merupakan transisi dari masa anak-kanak ke masa dewasa
awal, yang dimulai kira-kira umur 10 sampai 12 tahun dan berakhir
kira-kira umur 18 sampai 22 tahun. Remaja mengalami perubahan-penibahan
fisik yang sangat cepat, perubahan perbandingan ukuran bagian-bagian
badan, berkembangnya karakteristik seksual seperti membesarnya payudara,
tumbuhnya rambut pada bagian tertentu dan perubahan suara. Pada fase ini
dilakukan upaya-upaya untuk mandiri dan pencarian identifas diri.
Pemikirannya Iebih logis, abstrak dan idealis. Semakin lama banyak waktu
dimanfaatkan di luar keluarga. Pada saat ini para ahli tidak lagi berpendapat bahwa perubahan-perubahan
akan berakhir pada fase ini. Mereka mengatakan bahwa perkembangan
merupakan proses yang terjadi sepanjang hayat.
Peranan Sekolah Dalam Pembangunan Manusia Berkarakter Moral eranan pendidikan berkarakter moral di sekolah pernah dilakukan oleh Berkowitz & Bier (2003). MePreka menyatakan bahwa penerapan pendidikan berkarakter moral mempengaruhi peningkatan motivasi siswa dalam meraih prestasi. Bahkan kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Hal ini disebabkan salah satu tujuan pendidikan karakter adalah untuk pengembangan kepribadian yang berintegritas terhadap nilai atau aturan yang ada. Ketika individu mempunyai integritas maka ia akan memiliki keyakinan terhadap potensi diri (self efficacy) untuk menghadapi hambatan dalam belajar.
Beberapa tema-tema moral yang berhubungan dengan kognitif ditemukan dalam penelitian Narvaes (2006). Peserta didik yang mendapatkan pendidikan berkarakter moral akan lebih; (a). Mudah memahami situasi moral secara akurat dan menegakkan aturan atau nilai yang diinternalisasi, (b). Mempunyai alat atau metode untuk memecahkan masalah moral yang kompleks, (c). Tetap berfokus terhadap tugas-tugas akademis dan termotivasi untuk mengatasi hambatan dalam pembelajaran, (d). Mampu memprioritaskan tujuan-tujuan etis untuk pengembangan diri dan pemberdayaan sosial. Oleh karena itu, negara-negara maju turut menekankan pendidikan berkarakter moral tersebut sebagai soft-skill yang mengikuti kompetensi pembelajaran. Dengan demikian, lulusan dunia pendidikan akan lebih siap berkompetisi dalam era global saat ini.
Meskipun sekolah merupakan lingkungan kedua bagi peserta didik dalam pembentukan karakter namun sekolah merupakan komunitas untuk melakukan sharing nilai dengan guru, teman sebaya dan sivitas akademika. Apalagi, fenomena kurikulum sekarang yang sarat beban bagi peserta didik menyebabkan ia tinggal lebih lama di sekolah daripada di lingkungan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, pemakalah memberikan usulan terhadap peran sekolah dalam membangun manusia yang berkarakter moral sebagai berikut;
1. Menyediakan pendidikan moral agama yang berbasis penyikapan terhadap kasus/ fenomena. Dalam hal ini tentunya agama tidak saja disajikan dalam pengetahuan aturan atau tata laksana ibadah (syari’at) tetapi lebih kepada nilai-nilai agama dalam menghadapi fenomena sosial. Nilai-nilai agama inilah yang menjadi bagian dari pembentukan karakter moral peserta didik. Sebagai contoh, pendidikan agama Islam tidak hanya mengajarkan syari’at sholat saja tapi nilai-nilai manfaat yang diperoleh bagi manusia itu sendiri dengan menjalankan sholat. Begitu pula agama Kristen Protestan tidak hanya mengajarkan cara bersembahyang tetapi bagaimana menerapkan Etika Protestan untuk keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Juga The Golden Role dalam ajaran agama Katholik agar manusia menyebarkan kebaikan kepada sesamanya. Sebenarnya beberapa ahli pemikir Barat membedakan antara moral dengan nilai-nilai agama. Akan tetapi, pemakalah mempunyai pendirian bahwa nilai agama membentuk karakter moral karena nilai agama yang universal juga mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri (intrapersonal) dan hubungan manusia dengan lingkungan sosialnya (interpersonal). Tidak ada agama yang tidak mengatur ketiga hal tersebut. Bahkan secara tegas, Silberman (2005) menyatakan bahwa ciri manusia yang religius adalah;
(a). Mampu memahami Tuhan dan melaksanakan semua ajaranNya. Pada elemen ini, manusia yang beragama dituntut untuk memahami kekuatan Tuhan dan mengamalkan semua ajaranNya dalam kehidupan sehari-hari.
(b). Memahami pemaknaan diri. Pada elemen ini, manusia yang mengaku beragama harus memiliki pemahaman terhadap hakikat diri, tujuan hidup, potensi diri dan pengaruh ajaran agama terhadap proses pembentukan jati diri. Misalnya, sebagai seorang Muslim maka ia tahu bahwa tujuan hidupnya hanyalah untuk berbakti kepada Allah SWT, mempunyai potensi persaudaraan sebagai sesama muslim dan ajaran Islam dijadikannya sebagai identitas dirinya.
(c). Meyakini dan memelihara hubungan dengan mahluk lain ciptaan Tuhan dan alam semesta. Sebagai manusia yang beragama maka kita dituntut untuk membina hubungan dengan orang lain, mahluk ghaib dan alam semesta.
(d). Keyakinan terhadap hari depan, yaitu keyakinan yang harus dimiliki oleh manusia religius terhadap kehidupan masa depan, kehidupan setelah kehidupan di dunia, seperti kematian, alam kubur, hari berbangkit atau kiamat, syurga dan neraka. Oleh karena itu, manusia yang religius menjadikan kehidupan di dunia ini sebagai investasi dalam kehidupan di masa mendatang, termasuk kehidupan akhirat kelak.
Berdasarkan ciri manusia yang religius atau mempunyai nilai-nilai agama tersebut maka sebenarnya sama dengan tujuan pendidikan berkarakter moral yang mengembangkan interpersonal dan intrapersonal. Dengan demikian, pendidikan moral agama lebih ditekankan kepada kasus-kasus atau fenomena yang harus dipecahkan oleh peserta didik berdasarkan pertimbangan nilai atau moral agama. Hal ini yang disebut sebagai pembelajaran berbasis masalah (problem based learning).
2. Menyiapkan guru, kakak kelas, sivitas akademika, alumni sebagai role model. Sebagaimana definisi pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer, khususnya tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal maka dibutuhkan figur teladan dalam menegakkan nilai atau aturan tersebut. Figur teladan ini sesuai dengan filosofi pendidik yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu ing ngarso sung tulodho (seorang guru harus mampu memberikan keteladanan sikap dan tindakan), khususnya keteladanan moral. Apalagi, guru merupakan sosok digugu lan ditiru (dipatuhi dan dicontoh tindakannya). Jika guru hanya memberikan pengajaran moral tanpa mendidik (memberi keteladanan moral) maka akan terjadi kebingungan pada diri peserta didik. Sosok guru yang ideal ialah guru yang bermoral. Ketika guru melakukan tindakan amoral, seperti pelecahan seksual, kekerasan, tindak pidana dan lain sebagainya maka fenomena ini disebut sebagai moral hypocrisy, yaitu sosok yang idealnya bermoral namun melakukan tindakan tidak bermoral. Tidak hanya guru, kakak kelas dan alumni pun sebagai figur teladan dalam penegakan moral. Jika kakak kelas dan alumni berkomitmen untuk membantu penegakan moral di lingkungan sekolah maka aktivitas yang tidak bermoral, seperti kekerasan dalam masa orientasi dan tawuran dapat diminimalisasi.
3. Menyediakan perangkat nilai dan aturan yang jelas, rasional dan konsisten. Sekolah yang mempunyai aturan jelas menyebabkan tidak ada ambiguitas peserta didik dalam memahaminya. Aturan yang jelas juga dimaksudkan agar peserta didik tidak mencari celah kelemahan aturan dan memanfaatkan celah tersebut untuk pelanggaran. Selain itu, yang dimaksudkan dengan aturan atau nilai yang rasional ialah segala aturan tersebut bukan saja bertujuan untuk mengarahkan atau melarang suatu tindakan tetapi lebih kepada penguatan alasan mengapa aturan atau nilai tersebut ditegakkan. Tentunya hal ini membutuhkan sosialisasi kepada peserta didik dan sivitas akademika agar memahami latar belakang ditegakkannya nilai atau aturan tersebut. Rasionalitas atau alasan tentang penegakan nilai moral tersebut perlu dilakukan karena dalam psikologi perkembangan, seorang remaja mulai berfikir operasional kongkret yang mencari rasional dalam setiap tindakan. Dengan pemahaman nilai atau aturan yang rasional tersebut maka peserta didik akan menjalankan aturan dan nilai tersebut karena terdorong untuk kebaikan mereka sendiri. Hal ini menandakan aturan atau nilai yang rasional/ mempunyai alasan yang tepat akan menumbuhkan motivasi intrinsik atau motivasi dalam diri. Sedangkan penegakan nilai atau aturan yang konsisten untuk semua pihak diharapkan akan menjadi perangkat aturan untuk kepentingan bersama (keadilan distributif).
4. Membangun sinergitas antara pihak sekolah, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sebagaimana kita ketahui kebijakan publik tidak dapat dijalankan jika tidak ada sinergi antara pihak terkait. Meskipun sekolah telah menerapkan pendidikan berkarakter moral di lingkungan belajar namun hal ini tidak akan efektif jika tidak didukung keterlibatan pihak keluarga, masyarakat dan pemerintah. Jika kita kembali merujuk definisi pendidikan berkarakter moral maka pendidikan tersebut sesungguhnya merupakan suatu PROSES. Maknanya, pendidikan berkarakter moral merupakan transfer secara bertahap dan berkelanjutan. Sayangnya, kebijakan pemerintah tentang ujian nasional (UNAS) mempunyai dampak bahwa pendidikan lebih menekankan kepada hasil suatu sistem dan bukan kepada proses. Padahal sebenarnya pendidikan lebih menekankan kepada proses suatu sistem. Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah tidak membuat suatu kebijakan yang bertentangan dengan filosofi pendidikan berkarakter moral.
5. Pendidikan berkarakter moral dimasukkan dalam kegiatan intra, ekstra dan ko-kulikuler sebagai hidden curriculum. Dalam kegiatan intra-kurikuler dan ko-kurikuler, setiap mata pelajaran perlu memberikan pesan moral khusus berkaitan dengan topik pembelajaran. Contohnya, pelajaran Biologi tentang reproduksi manusia perlu diberikan sosialisasi tentang dampak negatif seks pra-nikah jika organ reproduksi belum siap digunakan. Jadi, tidak sekedar pengetahuan seks tetapi juga menyisipkan pesan moral yang rasional. Begitu pula, dalam kegiatan ekstra-kurikuler perlu diperbanyak aktivitas yang membina karakter moral peserta didik, seperti Pramuka, PMR, Dokter Kecil, Olah Raga dan lain sebagainya. Bahkan ide untuk mendirikan dan melestarikan “Kantin Kejujuran” perlu diwujudkan.
6. Menyajikan story telling melalui multi media dengan melibatkan peran sebagai role model karakter moral. Menurut Sheldon (2004), story telling adalah salah satu metode yang tepat untuk menyampaikan pesan moral melalui peran tokoh-tokoh dalam suatu cerita sebagai role model. Dengan demikian, story telling memiliki kemampuan untuk menyampaikan nilai-nilai moral karena anak dan remaja lebih mudah menerima informasi melalui audio-visual. Oleh karena itu, disarankan story telling disajikan dalam multi media sehingga menarik keterlibatan afeksi dan kognisi peserta didik dalam menginternalisasi nilai moral yang disampaikan. Sebagai contoh, story telling dengan tema budaya lokal, seperti Malin Kundang disampaikan melalui tayangan film atau parodi sehingga pesan moral tentang berbakti kepada orang tua lebih efektif disampaikan kepada peserta didik.
No comments:
Post a Comment